Anak
sendiri memiliki pengertian sebagai keturunan yang lahir dari orang tua. Anak
merupakan seseorang yang masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan fisik
maupun mental. Anak-anak sangat membutuhkan perawatan, pendidikan dan bimbingan
untuk tumbuh agar menjadi individu yang sehat dan mandiri. Anak juga dianggap
sebagai harapan masa depan dan juga bagian dari struktur keluarga dan masyarakat.
Fakta di lapangan banyak sekali
kasus-kasus mengenai perkawinan di usia dini. Hal ini dipengaruhi banyak faktor
akan tetapi dari beberapa literature dan kasus yang sering muncul yaitu terkait
dengan kemajuan teknologi di era gobalisasi, masalah ekonomi, dan juga masalah
adat istiadat dilingkungan setempat. Di era kemajuan teknologi ini terutama
anak gen z, anak bisa mengakses dengan mudah terkait hal-hal yang berbau dengan
pornografi di dunia maya. Nah hal inilah yang dapat memicu anak-anak melakukan
hal yang dalam artian adegan dewasa dan tidak sesuai dengan usianya. Pkiran
anak yang tidak bisa memilih mana yang baik maupun yang buruk ini kemudian anak
melakukan dan meniru hal yang ada di internet. Kemudian terjadilah kejadian
yang tidak diinginkan yaitu kehamilan.
Seperti kasus pada beberapa tahun
lalu di Ponorogo, dikutip dari CNN Indonesia.com, jumlah angka perkawinan anak
dengan alasan sudah hamil telebih dahulu. Rentang usia pada kasus ini anak
masih duduk di masa SMP-SMA. Dari data yang tercatat pada Pengadilan Agama
Ponorogo di tahun 2021 tercatat ada sekitar 266 permohonan dispensasi menikah
dibawah umur, lalu pada tahun 2022 tercatat ada 191 permohonan dispensasi
menikah. Di minggu awal tahun 2023 sudah ada 7 kasus dispensasi menikah. Permohonan
ini di kabulkan karena sudah memenuhi unsur mendesak bahkan ada yang sudah
melahirkan. Kemudian dari Kabupaten Jember sendiri tepatnya di Kecanatan
Patrang, orang tua menikahkan anaknya karena tradisi dan juga pendidikan yang rendah
mengenai tentang pernikahan. Orang tua menganggap bahwa anak perempuan yang
telah lulus Sekolah Dasar, telah menjadi dewasa. Mereka menganggap demikian
karena takut kalau anak perempuan yang perawan dan tidak segera dinikahkan akan
tidak laku lagi. Di tahun 2016 tercatat ada sebanyak 375 remaja menikah di usia
remaja. Rata rata orang tua menikahkan anaknya pada usia 14-18 tahun. Usia-usia
ini merupakan usia yang belum siap mental maupun ekonominya. Kasus selanjutnya
dikutip dari detik.com remaja perempuan berusia 15 tahun di Kabupaten Tojo
Una-una, Sulawesi Tengah dipaksa menikah oleh orang tuanya karena orang tua
memiliki hutang sebesar 6 juta. Dari hal tersebut anak yang belum memiliki
pemahaman mengenai bagaimana cara mengasuh anak yang baik maka terjadilah
stunting.
Dampak dari stunting ini terkait
dengan tinggi badan maupun berat badan yang berbeda dengan anak seusianya,
perkembangan kognitif dan mental (seperti kemampuan belajar dan berpikir)
terlambat, anak yang terkena stunting ini kemudian dia juga rawan terkena penyakit
karena sistem kekebalan tubuh mereka berkurang, dan yang terakhir anak terkena
stunting akan mengalami keterlambatan dalam perkembangan kemampuan motoric
seperti berjalan dan berbicara.
Dari dampak yang dijelaskan diatas
bisa dikatakan bahwa stunting merupakan kondisi yang dimana memiliki ciri yaitu
anak memiliki tumbuh kembang yang berbeda dengan anak seusianya. Anak
kekurangan nutrisi selama masa pertumbuhannya. Orang tua yang menikah di bawah
umur tidak memiliki pekerjaan tetap kareana dibawah umur serta pendidikan
mengenai bagaimana cara merawat anak serta psikis orang tua yang belum siap
untuk merawat anak. Sebanyak 6,3 juta anak di Indonesia mengalami stunting.
Akan tetapi pemerintah Indonesia sendiri menargetkan agar stunting menjadi 14
persen di tahun 2024, di tahun 2019 mencapai 27,6 persen dan pada 2023 ini
mengalami penurunan yaitu 21,6 persen. Memang tidak turun dengan signifikan
akan tetapi dari bahaya stunting ini diperlukan kerja sama semua masyarakat dan
juga pemerintah.
Dari 3 kasus yang ada inilah
diperlukan pemahaman pemahaman ke lingkungan masyarakat terkait bahaya
stunting. Memang tidak dapat dipungkiri era globalisasi ini semua budaya dari
luar bisa masuk kedalam secara mudah. Akan tetapi dari kejadian di Ponorogo ini
menjadi pembelajaran agar orang tua dapat mengkontrol anak dalam dunia mayanya,
serta pada pergaulan anaknya agar tidak terjadinya pergaulan bebas. Orang tua
perlu memberi arahan kepada anak saat anak bermain internet, ada batasan
batasan anak dalam mengakses internet agar tidak terjadi suatu hal yang tidak
diinginkan suatu hari. Kemudian pada masalah budaya dan ekonomi, memang budaya
perlu dilestarikan akan tetapi tidak dengan pernikahan dini serta orang tua
juga tidak wajib mengikutkan anaknya dalam masalah ekonomi, anak tidak perlu
ikut dalam masalah ekonomi karena anak belum memiliki mental yang siap, anak
hanya bisa bermain, bersekolah, belajar, serta hal-hal yang seusianya. Orang
tua yang memaksa menikahkan anaknya untuk menembus hutang merupakan tindakan
yang salah karena anak masih memiliki cita-cita atau masa depan yang akan
dicapai. Jika dipaksa menikah maka pertumbuhan anak akan terganggu. Yang
seharusnya anak itu sekolah, bermain, dan belajar dengan temannya. Dia malah
mengurus kehidupan rumah tangganya dengan anaknya dan mengurus suaminya.
Penulis : Allino Bramudya Listiyono
Referensi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230113133558-20-900019/angka-perkawinan-anak-meroket-di-ponorogo-mayoritas-hamil-duluan
https://paudpedia.kemdikbud.go.id/berita/149-juta-anak-di-dunia-alami-stunting-sebanyak-63-juta-di-indonesia-wapres-minta-keluarga-prioritaskan-kebutuhan-gizi?do=MTY2NC01YjRhOGZkNA==&ix=MTEtYmJkNjQ3YzA=#:~:text=Pemerintah%20telah%20menargetkan%20prevalensi%20stunting,turun%20menjadi%2021%2C6%20persen.
https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6826620/gadis-15-tahun-di-tojo-una-una-dipaksa-nikah-demi-tutupi-utang-ortu-rp-6-juta
Mufid,
Firda Laily, and Muhammad Hoiru Nail. "Upaya pencegahan pernikahan usia
dini pada remaja di Kelurahan Jember Lor Kabupaten Jember." Jurnal
Rechtens 10.1 (2021): 109-120.
0 Komentar