GPPJEMBER.COM: Riuh suara para pejalan kaki sedang berbincang di tepi jalan sekitar Wachid Hasyim di Kota Jember. Di rumah itu seorang disabilitas intelektual perempuan sedang menunggui jualannya. Usianya kurang lebih 23 tahun, menjadi penyintas kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya. Dia menjalankan usahanya berkat dukungan pemberian bantuan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia pasca kasus tersebut. Ada beberapa kebutuhan rumah tangga yang ia jual. Usaha ini dijalankan sebagai aktifitas baru baginya untuk menghilangkan rasa trauma.
Kejadian
itu terjadi belum lama ini yaitu sekitar bulan Juni 2022, korban yang merupakan
difabel intelektual itu juga didampingi oleh psikolog, guru Sekolah Luar Biasa
(SLB) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan.
Kasus kekerasan seksual
yang menimpa seorang gadis difabel intelektual bukan pertama kali kembali di
kota Jember. Kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas ini sering
terjadi. Korbannya kebanyakan adalah perempuan penyandang disabilitas
intelektual ataupun disabilitas tuli. Mungkin mereka dianggap tidak akan
melapor kepada orang lain seperti keluarga tetangga ataupun pihak
berwajib.
Menurut pendamping UPTD
PPA Jember, Solehati, dalam beberapa kasus kekerasan seksual, korban tidak
mudah untuk mengungkapkannya. Terutama para korban disabilitas, sehingga peran
lingkungan terdekatnya sangat penting untuk mengetahui adanya perubahan ataupun
hal yang janggal terhadap korban.
Solehati menyayangkan
kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Yakni pihak keluarga biasanya
berusaha menutupi kasus-kasus kekerasan seksual, ketika pelakunya berasal dari
anggota keluarganya sendiri. Mereka menilai hal itu merupakan aib. Maka dari
itu, masyarakat juga perlu memahami dan sadar pencegahan kasus kekerasan
seksual di sekitarnya. Jika mengetahui tindakan kekerasan seksual, agar tidak
ragu melapor kepada pihak berwajib ataupun meminta pendampingan lembaga
terkait.
Terkait pendampingan,
Solehati menjelaskan bahwa kondisi penyandang disabilitas, terutama bagi
difabel intelektual atau retardasi mental pasti berbeda. Salah satunya dalam
memperoleh cerita dari korban. Penyandang retardasi mental memerlukan
pendampingan dan pendekatan yang lebih intens. Pihaknya pun harus melakukan
pendekatan yang berbeda.
Solehati menambahkan,
pihaknya berupaya agar para korban difabel yang mengalami kekerasan
seksual, mendapatkan pendampingan maksimal. Pihaknya memposisikan diri sebisa
mungkin tidak terkesan menginterogasi dan mengintimidasi. Sebaliknya, pihaknya
memberikan suasana nyaman bagi korban untuk bercerita. Tidak jarang, pihaknya
juga mengajak orang terdekat, seperti keluarga, tetangga, pihak sekolah, dan
lainnya agar korban mau bercerita.
Dari total tujuh miliar
penduduk dunia tahun 2021, sebanyak 15% di antaranya adalah penyandang
disabilitas. Dari 15% itu, 80% tinggal di negara berkembang. Di Indonesia
kebijakan tentang perlindungan hak bagi difabel sudah dibuat. UU No 8 Tahun
2016 mengamanatkan kepada pemerintah nasional dan daerah untuk menghormati,
melindungi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas guna meningkatkan
kesejahteraan mereka.
Indonesia juga turut
menyepakati tercapainya Millennium Development Goals (MDGs) yang kini
dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu target
ketercapaian SDGs tahun 2030 adalah terwujudnya kesetaraan gender, pendidikan
inklusi, dan nondiskriminasi termasuk kepada penyandang disabilitas.
Hak kesehatan reproduksi
perempuan penyandang disabilitas memerlukan upaya tersendiri untuk dipenuhi.
Hal ini terjadi karena dalam praktiknya, perempuan penyandang disabilitas
sering dianggap tidak memiliki hak otonomi terkait dengan kesehatan
reproduksinya. Hak-hak mereka, dalam banyak hal, direnggut begitu saja tersebab
keadaan mereka sebagai penyandang disabilitas.
Karena kondisinya, para
perempuan penyandang disabilitas kerap kali menjadi korban perkosaan. Lebih
memprihatinkan, dalam kenyataannya pelaku perkosaan kebanyakan justru merupakan
orang-orang terdekat korban, misalnya adalah ayah, paman, kakek, atau
saudara-saudara dekat yang lain.
Dengan demikian, harus
ada keberpihakan terhadap para perempuan penyandang disabilitas ini. Namun,
sampai saat ini, masih belum ada keberpihakan kepada mereka, termasuk dalam hal
akses pelayanan kesehatan reproduksi.
Di sisi lain, ada
kecenderungan bahwa kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dari
perempuan penyandang disabilitas akan berdampak pada kekerasan seksual kepada
mereka.
Pelaku kekerasan seksual tersebut
biasanya tidak jauh dari mereka, seperti kakek, bapak, paman, saudara, pacar,
atau orang-orang terdekat lainnya. Minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi
itu mengakibatkan mereka tidak atau kurang asertif, yakni keberanian mengatakan
tidak atau melawan ketika menghadapi tindak kekerasan seksual terhadap mereka.
Melihat permasalahan
tersebut, solusi yang seharusnya dilakukan adalah mendorong pemerintah untuk
membuat dan mengimplementasikan kebijakan layanan kesehatan reproduksi sesuai
dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Misalnya ialah adanya layanan promosi
kesehatan reproduksi dan pemeriksaan bagi penyandang disabilitas, khususnya
bagi perempuan, lalu pentingnya memasukkan materi pendidikan kesehatan
reproduksi pada kurikulum pendidikan sekolah, baik sekolah inklusi atau reguler
yang menerima siswa penyandang disabilitas ataupun di sekolah luar biasa (SLB).
Lebih lanjut ialah perlu
ditekankan pula pentingnya pemberian bekal pengetahuan reproduksi bagi orang tua
siswa penyandang disabilitas. Dari mereka yang sehari-hari berinteraksi
langsung dengan anak ini, diharapkan anak-anak penyandang disabilitas akan
mendapatkan informasi dan perlakuan yang tepat mengenai kesehatan reproduksi.
Masalah kejahatan
kesusilaan dan pelecehan seksual, yakni dua bentuk pelanggaran kesusilaan yang
semakin kompleks, bukan hanya merupakan permasalahan hukum nasional, melainkan global.
Golongan yang rawan
menjadi korban adalah perempuan, anak-anak, dan anak dengan berkebutuhan
khusus, bahkan yang laki-laki. Di antara golongan lainnya, anak perempuan
adalah individu yang paling berisiko mengalami tindak kekerasan seksual.
Mengapa demikian? Karena,
selain faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik, anak
perempuan umumnya memang rentan dan mudah menjadi korban tindak kekerasan
seksual, lebih-lebih jika kondisi fisik maupun psikis korban terganggu, dalam
arti si korban membutuhkan perlakuan khusus/anak berkebutuhan khusus.
Difabel membutuhkan
informasi, pengajaran, dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual lebih dini
melalui keluarga yang memegang peran primer dalam pendidikan. Kendala sering
muncul dalam proses pengajaran karena masyarakat kebanyakan masih memandang
tabu dan malu untuk membicarakan masalah seks, apalagi dengan anak-anak.
Kurangnya pengetahuan anak-anak tentang masalah
ini juga bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang hendak melakukan
tindakan kejahatan seksual. Untuk
itu, anak-anak perlu diajari tentang materi pengetahuan kesehatan reproduksi
sesuai dengan tingkat perkembangan mereka.
Pendidikan tentang
kesehatan reproduksi harus diberikan kepada anak semenjak ia mengenal organ
genitalnya, yakni usia 1-2 tahun. Namun, tentu saja pendidikan tersebut harus
diberikan sesuai umur dan tingkat perkembangan mereka.
Selain itu, pendidikan
untuk anak penyandang disabilitas harus juga disesuaikan dengan kondisi si
anak, seberapa kemampuan anak menyerap materi yang ada. Namun demikian, materi
tersebut harus tetap memenuhi kebutuhan pengetahuan akan materi kesehatan
reproduksi secara mendasar.
Metode penyampaian
pengajaran materi untuk anak penyandang disabilitas juga berbeda dari metode
pada umumnya. Pendidik tidak sekadar menyampaikan materi pengajaran dan contoh,
tetapi menggunakan metode dan teknik khusus sesuai dengan kondisi anak.
Misalnya, untuk anak tunanetra kita harus menggunakan metode ceramah, cerita,
tanya jawab, diskusi, peringatan, dan metode pengikatan.
Untuk anak tunarungu,
kita harus menggunakan bahasa isyarat dan tubuh, ceramah, pengulangan,
pengajaran secara langsung. Untuk anak autis, menggunakan metode berkomunikasi
dengan gambar, perilaku, keteladanan, video modelling.
Untuk anak tuna laras,
menggunakan metode pendampingan, bertahap, keteladanan, metode langsung dan
pembiasaan. Untuk anak tunagrahita, menggunakan metode bermain, kawan sebaya,
praktik, keteladanan, dan pengenalan langsung. Untuk anak tunadaksa,
menggunakan metode bimbingan kemandirian, pembiasaan, keteladanan, pembelajaran
individual, ceramah, dan praktik.
Pentingnya pengajaran
kesehatan reproduksi bagi anak pada umumya maupun penyandang disabilitas adalah
membukakan akses kepada mereka untuk mengerti dan paham tentang tubuhnya
dirinya sendiri, juga mampu menghindarkan diri dari risiko pernikahan dini,
kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi, infeksi menular seksual (IMS), HIV/AIDS
dan lebih-lebih kekerasan seksual.
Demi kesuksesan penyampaian materi kesehatan reproduksi, orang tua
dan sekolah harus ikut berperan, bekerja sama melakukan bagian dari pendidikan
yang teramat penting ini.
Penulis:
Moh Zaenuri Rofi’i
0 Komentar