Dialog ini digelar di area camping ground Tanoker Ledokombo atas kerjasama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Tanoker, Rutgers dan GNRC serta dukungan dari DP3AKB, Disparbud, Dinas Pendidikan, RRI, stakeholders hingga muspika.
Dalam pengantarnya, Suporahardjo sebagai moderator menjelaskan bagaimana sebuah tradisi terbangun, dengan nilai nilai positif dan negatifnya, yang mana itu diturunkan sebagai warisan budaya dari generasi ke generasi. "Tradisi adalah kebiasaan yang terus diulang dan terulang maka usaha untuk mempertahankan yang baik dan mengubah yang tidak baik merupakan tanggungjawab dan beban kerja bersama yang tidak ringan" Ujar Suporahardjo
Satu di antaranya yang menjadi sorotan adalah perkawinan anak. Kebiasaan menikah di usia anak masih ditemukan dikalangan masyarakat, dan tergolong tinggi dikarenakan hal tersebut dianggap wajar dan hampir menjadi budaya dalam masyarakat Jember.
Poin peekawinan anak menjadi diskusi panjang di antara peserta dialog yang terdiri dari Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Pengusaha, Pekerja, Pelajar, Forum Anak Desa, Santri, Kades, K3S, MKKS, Kapuskesmas, Fatayat dan para peserta lainnya. Pertanyaan lanjutan yang tajam dari anak, dan remaja yang berasal dari Forum Anak Desa (FAD) Harjomulyo, Karangharjo, Lembengan, Sukogidri, Suco Lor, mendapat apresiasi dan jawaban dari Dirjen.
Secara umum Hilmar Farid mengarahkan, untuk mengubah dan
memperbaiki kebiasaan yang salah serta mengangkat nilai nilai baik dari tradisi
yang sudah ada semula, yakni dengan fokus pada satu masalah, mengevaluasinya,
menyiapkan solusinya lalu bergerak ke masalah lainnya dengan fokus yang baru.
Penulis: Roni Purnawirawan
Editor: Sri Wahyunik
0 Komentar