Foto: Ruang pelayanan terpadu satu pintu Pengadilan Agama Jember
GPPJEMBER.COM: Sofie, perempuan berusia 22 tahun, anak kedua dari 2 (dua) bersaudara. Kehidupannya berbeda dengan perempuan seusianya. Lahir dari keluarga buruh tani, hidupnya pas-pasan bahkan kekurangan. Pada usia 16 tahun, dia memilih berhenti sekolah, dan memutuskan untuk bekerja. Saat itu dia mengadu nasibnya di Pulau Bali sebagai asisten rumah tangga.
“Saat saya kelas X (kelas 1 SMA) mau kenaikan kelas XI, saya berhenti sekolah, karena ingin kerja
untuk membantu perekonomian keluarga” ujarnya
Kehidupannya berubah ketika mulai dekat dengan laki-laki yang
ia kenal dari media social Facebook. Laki-laki tersebut bekerja di Pulau Bali.
Setelah mengenal dekat, kemudian memutuskan bertunangan, dan melakukan
perkawinan di bawah tangan atau yang biasa dikenal kawin siri.
Saat kawin siri, dia tinggal serumah dengan keluarga pihak
laki-laki. Setahun kemudian perkawinannya dilegalkan, menikah sah secara hukum negara
karena kondisinya saat itu sudah hamil. Dan melahirkan seorang anak
laki-laki yang saat ini sudah berusia 3 (tiga) tahun.
Masalah rumah tangganya mulai datang, orang tua suami tidak
mengakui anak yang dikandungnya. Bahkan kerap mendapatkan kekerasan verbal yang
dilontarkan oleh orang tua suaminya. Mertuanya kerap melontarkan kata-kata bahwa dia tidak pantas menjadi menantunya, karena
anak orang miskin, tidak sebanding dengan keluarga suaminya. Bahkan tidak segan
untuk menyuruh anaknya untuk menceraikannya. Akhirnya memilih pulang ke rumah
orang tuanya.
Tidak berhenti disitu, suami menelantarkannya. Pamit bekerja
ke luar kota namun tidak pernah pulang bahkan tidak memberikan nafkah pada keluarga selama
2 tahun berturut-turut. Selama itu, dia banting tulang memenuhi kebutuhan rumah
tangganya, untuk beli susu, popok dan lain sebagainya. Dia bekerja apa saja asal mendapatkan penghasilan.
Melihat kondisi rumah tangganya dia ingin mengakhiri rumah
tangganya. Akhirnya memberanikan diri datang ke Pengadilan Agama Jember,
menemui staf informasi pengadilan menanyakan biaya cerai.
“Saya sudah datang ke Pengadilan Agama Jember, bertanya biaya
untuk menggugat cerai suami. Jawaban dari pihak petugas mengatakan bahwa biaya
gugatan cerai kurang lebih sekitar 1 (satu) juta ”
ucapnya. Saat itu dia mulai berpikir dari mana bisa mendapatkan uang sejumlah
tersebut.
Kemudian dia melihat Banner Gerakan Peduli Perempuan Jember
yang terpampang diruang tunggu Pengadilan Agama Jember. Banner tersebut berisi
layanan yang bisa diakses perempuan, satu di antaranya layanan bantuan hukum.
Dia kemudian menghubungi nomer admin layanan tersebut.
“Saya menghubungi nomor WA tersebut, kemudian saya dihubungkan
dengan pengacaranya” imbuhnya.
Dia menjelaskan keinginannya untuk bercerai, namun terkendala
biaya. Setelah bertemu dengan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera
Perempuan Indonesia. Dari LBH inilah dia mendapatkan informasi layanan
pembebasan biaya perkara atau mengajukan cerai secara gratis. Pembebasan biaya perkara
ini diperuntukkan bagi warga negara yang tidak mampu secara ekonomi. Hal
tersebut sesuai dengan kondisinya.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014, warga
negara yang tidak mampu secara ekonomi harus dibuktikan dengan Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan kepala desa/lurah setempat. Setelah
mendapatkan informasi tersebut, dia mulai mengumpulkan syarat pengajuan cerai
di antaranya buku nikah, KTP, dan SKTM.
“Persyaratan sudah lengkap, saya kembali ke LBH Jentera.
Kemudian saya dibantu dalam penyusunan surat gugatan cerai. Dokumen itu yang
kemudian saya bawa ke Pengadilan Agama Jember untuk daftar cerai”Imbuhnya.
Setelah menempuh beberapa kali persidangan, hakim mengabulkan
gugat cerai dan membebaskan biaya perkara.
“Saya berterima kasih pada Pengadilan Agama Jember, pengajuan cerai secara gratis dikabulkan oleh hakim, jadi saya tidak membayar sama sekali. Saya juga berterima kasih
kepada LBH Jentera Perempuan yang membantu proses cerai saya” Pungkasnya.
Kini dengan status barunya, dia mulai menata masa depan. Ada anak yang harus dia penuhi kebutuhannya. Ada orang tua yang harus dia bantu perekonomiannya.
Penulis: Fitri
0 Komentar