Hal itu menjadi kabar yang sedikit melegakan khususnya bagi lebih dari empat juta warga Indonesia yang merupakan PRT.
Perjalanan panjang RUU PPRT hingga kini belum menemui titik terang alias masih terlantar.
Lebih dari 19 tahun, RUU PPRT bergulir namun tak kunjung disahkan. Perjalanannya diawali pada 2004 yang diusulkan pertama kali oleh salah satu partai. Muncul tenggelam, dari yang tidak pernah dibahas kembali hingga sempat dihapuskan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2015.
Kemudian pada 2020, Badan Legislasi (Baleg) telah menyepakati RUU PPRT menjadi inisiatif DPR RI. Sayangnya, pada saat draf sudah berada di meja pimpinan DPR, mandeg begitu saja. Selama lebih dari dua tahun ini (sejak 2021), tidak ada yang peduli nasib pengesahannya.
Padahal, kepastian hukum mengenai profesi PRT sangat dibutuhkan. Sebab, hukum ketenagakerjaan di Indonesia juga belum secara khusus mengatur tentang PRT. Seperti jam kerja, jaminan kerja, hingga perlindungan bagi PRT.
Bisa dikatakan, tingkat kebutuhan akan pengesahan RUU PPRT sudah ditaraf sangat urgen. Telah banyak kasus kekerasan PRT yang terjadi di mana-mana. Cerita soal majikan memaki, memukul, menampar, menyiksa, menahan gaji, sampai memperkosa PRT sudah tidak asing lagi.
Berdasarkan data yang dimiliki Jaringan Advokasi Nasional (JALA) PRT, bentuk kekerasan yang dialami PRT dari 2012 hingga 2021 bermacam-macam. Sebanyak 41 persen PRT mengalami kekerasan psikis, 37 persen kekerasan ekonomi, dan 22 persen PRT mengalami multi kekerasan (fisik, psikis, ekonomi).
Masih butuh berapa banyak kasus lagi hingga akhirnya bisa menyadarkan anggota dewan menggedok palu dalam sidang paripurna untuk mengesahkan RUU PPRT? Atau mungkin masih ada evaluasi dan pembahasan lebih rinci untuk mencari letak urgensinya?* (Mega Sil)
0 Komentar