gppjember.com - Pesantren merupakan institusi tempat proses transfer pengesahan berbasis agama islam. Konon, saat ini sudah mengalami modernisasi pengajaran pendidikan islam. Sehingga nantinya lulusan pesantren diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu religi yang dapat memperkuat pembangunan nasional, khususnya dari sisi keagamaan.
Biasanya, santri yang berada di pesantren dianjurkan untuk membatasi diri dengan dunia (lingkungan pesantren) luar. Salah satunya larangan membawa handphone. Alasannya cukup masuk akal, yakni agar santri fokus pada kegiatan pembelajaran di pesantren.
Ruang gerak mereka hanya dibatasi pada lingkungan pesantren. Tidak adanya media untuk berkomunikasi dengan keluarga maupun teman di luar pesantren. Lalu bagaimana jika mereka mengalami permasalahan? Atau bahkan mereka mengalami tindakan pelecehan seksual di dalam lingkungan pesantren. Akan sangat sulit mengungkap kasus tersebut kepada pihak luar.
Beberapa kasus bisa terkuak ke publik karena korban sempat kabur dari pesantren dan melapor pada orang tua atau keluarga terdekat. Sistem seperti ini membuat pelaku berpotensi melakukan perbuatan tersebut bahkan berkali-kali. Sebab tidak ada ruang pengawasan yang ketat dari lingkungan eksternal.
Bisa disimpulkan bahwa ada dua penyebab kekerasan seksual (KS) bisa terjadi di lingkungan pesantren. Yakni adanya ketimpangan relasi kuasa dan pemahaman tafsir agama yang keliru dari para pemegang kuasa di dalamnya.
Pelaku KS di ranah pesantren yang baru-baru ini sering muncul dan dilaporkan ke publik adalah guru, kiai, hingga pimpinan pesantren. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh para pelaku dijadikan alat memanipulasi menjerat korban dan melampiaskan nafsu jahatnya.
Faktor lainnya, pemahaman tafsir agama yang keliru. Tentu kita bertanya-tanya, apakah agama tidak cukup menjadi pengendali bagi mereka untuk melampiaskan nafsu jahat itu?
Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku sebagai pemilik pesantren dan guru memiliki pengaruh besar dalam pesantren. Hal itulah yang biasanya dimanfaatkan untuk memperdaya santriwati. Kedua, publik yang menempatkan pemilik pesantren dan guru atau ustadz pada posisi terhormat.
Ketiga, ketakutan korban dan keluarga, baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya.
Mengingat pondok pesantren merupakan institusi yang di dalamnya melekat dua mandat penting. Yakni sebagai institusi pendidikan sekaligus juga sebagai institusi agama.* (Rita/Mega Sil)
0 Komentar