gppjember.com - “Saniyee…. Itu cucian piring sudah selesai belum? Kalau sudah, lekas kamu sikat kamar mandi, dan masak semua bahan yang di kulkas. Saya akan kedatangan tamu malam ini,”.
Itulah sepenggal percakapan pemilik rumah (majikan) kepada Saniye, pekerja rumah tanggal (PRT). Semua beban pekerjaan dilimpahkan kepada Saniye. Tak jarang, dia juga menerima perlakuan kurang menyenangkan dari suami majikannya. Bahkan untuk bertemu dengan keluarga pun, hanya diberikan jatah cuti tiap 2 tahun sekali saat lebaran. Selebihnya dia menghabiskan waktu berada dalam rumah majikan.
Ingin sekali Saniye melaporkan perlakuan itu. Namun, entah ke mana dia harus melapor. Buktipun tidak dimilikinya. Belum lagi, potensi besar pemecatan akan diterimanya. Lalu dari mana dia mendapatkan penghasilan untuk menghidupi anak-anaknya di rumah?
Dalam ilustrasi cerita di atas, menggambarkan para pekerja rumah tangga yang terisolasi dari keluarga dan lingkungannya. Para pekerja yang tak memiliki jaminan hukum dalam pekerjaannya. Dia terancam kehilangan pekerjaan jika mereka berani melapor.
Jadi, bagaimana sesungguhnya posisi pekerja rumah tangga dalam dunia kerja? Apakah sudah terpenuhi hak dasarnya?
Para pekerja rumah tangga telah meninggalkan keluarganya. Bahkan, kesempatan untuk menemani pertumbuhan anak nya juga hilang. Itu demi mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hingga rela menjalani kehidupan sehari-hari bersama orang lain (majikan) yang beragam karakter. Dan sangat mungkin PRT mendapatkan majikan yang menjadikannya sebagai budak rumah tangga.
Mereka bekerja dalam lingkup yang privat. Di mana aturan main setiap majikan berbeda-beda. Ada yang hanya mengurus pekerjaan rumah saja. Ada pula yang mendapat tambahan pekerjaan seperti menjemput serta mengasuh anak majikan. Terkadang masih ada tambahan lagi mengurus hewan peliharaan majikan.
Dari banyaknya pekerjaan yang dibebankan kepada mereka, masih ada saja orang yang keberatan menyebut mereka sebagai pekerja. Alih-alih memilih menyebut asisten bahkan pembantu.
Padahal, mereka bukan membantu. Tetapi mengerjakan semuanya pekerjaan rumah tangga secara penuh. Yang menjadi pertanyaan besar apalah, mengapa pekerjaan mereka tidak disebut sebagai profesi? Apakah karena pekerjaan mereka jauh dari aktivitas produksi?
Belum lagi, selama ini mereka hanya diikat dengan hubungan kerja yang dilandasi dengan kepercayaan dan kesepakatan yang tidak tertulis, sangat tidak memadai untuk memberi perlindungan penuh pada para pekerja rumah tangga.
Untuk itu, tidak ada lagi alasan untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) uutuk segera didaahkan menjadi Undang-Undang. Agar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terimplementasikan.* (ritsajalah)
0 Komentar