GPPJEMBER.COM: Perkawinan anak dan putus sekolah seperti menjadi hal yang sulit dipercaya masih terjadi di tengah perkembangan zaman saat ini. Apalagi jika itu didengar oleh mereka yang terbiasa memandang sudut kota dengan segala kemajuan pengetahuan. Nyatanya, fenomena perkawinan anak dan angka putus sekolah di Jember benar-benar masih ada di depan mata.
Lembaga Gerakan Peduli Perempuan (LGPP) Jember melalui Sekolah Perempuan Mandiri (SPM) telah melakukan terjun lapang kepada perempuan di Kecamatan Puger Kabupaten Jember, Sabtu 10 Desember 2022. Tepatnya di Tempat Pelelangan Ikan Desa Puger Wetan dan Puger Kulon. Melakukan penelusuran dengan interview kepada sejumlah perempuan asli desa setempat.
Pendekatan dimulai dengan menanyakan identitas. Dengan bahasa sederhana, dilanjutkan menggali informasi seputar kesadaran kesehatan reproduksi (kespro) yang dialami warga. Beberapa kali sempat mendapatkan penolakan. Dari yang enggan menjawab hingga mengusir dengan bentakan bahkan belum ditanya apapun.
Secara garis besar, pandangan masyarakat perempuan setempat masih abu-abu mengenai kespro. Berdasarkan keterangan Noor Nabaiyah, tokoh perempuan Desa Puger Kulon, mengungkapkan bahwa perkawinan anak banyak terjadi di lingkungannya.
Pendiri TK di area lokalisasi Besini Desa Puger Kulon itu, menyebut, perkawinan anak yang terjadi rata-rata karena putus sekolah. Usai lulus SMP anak tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Ada yang karena tidak memiliki semangat sekolah hingga kurangnya dukungan materil dari orang tua.
Bagi perempuan terutama, setelah berhenti sekolah tidak ada pilihan lain selain menikah. Itupun, kata Nur, dukungan langsung dari orang tua. Usia rata-rata anak lulus SMP adalah 15 tahun. Tentunya usia yang jauh dari kesiapan menikah dan masih tergolong dalam usia anak. “Kalau tidak mendapatkan ijin kawin, banyak yang nikah siri,” ungkap Nur.
Dispensasi kawin menjadi hal biasa di kalangan masyarakat sekitar. Rela membayar biaya mengajukan permohonan kawin ke pengadilan agama agar sang anak bisa dikawinkan di umur yang masih di bawah aturan yang seharusnya untuk perempuan di atas 19 tahun. Pilihan lainnya adalah menikah secara siri dan dinikahkan secara sembunyi-sembunyi.
Selain karena alasan tak melanjutkan sekolah, masyarakat masih mempercayai mitos lama. Jika ada laki-laki yang datang melamar pantang ditolak. Karena dipercaya akan menjadi penghambat jodoh di masa yang akan datang. Ditambah dengan pandangan negatif masyarakat bagi anak perempuan yang sudah mencapai 18 tahun dan belum menikah.
Pernikahan anak bukan tidak mungkin tak membawa dampak apa-apa. Ketidaksiapan secara psikis atau mental, membawa hubungan rumah tangga anak menjadi tidak sehat. Akibatnya, perceraian di usia muda tidak bisa terhindarkan. “Ada yang cerai saat usia masih 16 atau 17 tahun,” sebut perempuan yang juga menjadi Ketua Sekolah Perempuan Puger Kreatif (SPPK), itu.
Jika tidak bercerai, permasalahan lain yang mengintai adalah terjadinya kehamilan di usia anak. Sebab secara fisik dan biologis tubuh belum siap kemudian menjadi hamil risiko tinggi (risti). Bahaya bagi calon ibu dan bayi yang berpotensi terjadi angka kematian ibu atau angka kematian bayi (AKI/AKB). Jika hal tersebut tidak terjadi, risiko stunting mengintai sang bayi.
Meski demikian, Nur mengaku belum ada sosialisasi secara resmi langsung dari pemerintah kabupaten (Pemkab) Jember. Apakah untuk memberikan edukasi soal kespro maupun pencegahan perkawinan anak hingga perhatian khusus untuk anak-anak yang putus sekolah. (Mega Sil)
0 Komentar