GPPJEMBER.COM: Maraknya perkawinan anak terus menjadi masalah di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pada tahun 2020, Kementerian Agama Kabupaten Jember, mencatat ada setidaknya 600 pernikahan yang melibatkan anak perempuan di bawah 19 tahun dan 400 pernikahan yang melibatkan anak laki-laki di bawah 19 tahun.
Memasuki 2021, jumlah perkawinan anak malah meningkat drastis. Tercatat, Pengadilan Agama Jember menyetujui 1400 dispensasi kawin bagi anak-anak, naik dibanding 1000 kasus di 2020. Padahal, dispensasi khusus untuk perkawinan yang melibatkan anak di bawah usia 19 tahun tidak bisa diberikan serta merta. Menurut UU No. 16 tahun 2019, dispensasi hanya bisa diminta orang tua kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.Berdasarkan observasi LGPP selaku mitra Program USAID MADANI, pandemi COVID-19 mengubah persepsi orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya. Tidak adanya aktivitas belajar-mengajar di sekolah membuat orang tua semakin khawatir anaknya terjerumus pergaulan bebas. Ujung-ujungnya, mereka dinikahkan sebelum waktunya sebab orang tua mereka merasa menikah muda lebih baik ketimbang mereka berbuat “nakal” atau melakukan perilaku seks berisiko.
Dampaknya tentu merisaukan. Perkawinan di usia dini dapat meningkatkan angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan perceraian yang disebabkan belum stabilnya kedua mempelai, baik secara emosi maupun finansial. Kehamilan di usia terlalu muda pun dapat berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, serta meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu dan bayi.
Untuk memberikan dimensi lain terhadap upaya tersebut dan mengurangi angka pernikahan dini, GPP bersama Forum Jember Sehat (FORJES) memprakarsai kampung remaja sehat di kecamatan Wirolegi dan Karangrejo, Jember.
Pemilihan dua wilayah tersebut bukan tanpa sebab, menurut data yang dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sumbersari menunjukkan bahwa pada tahun 2021 Kelurahan Wirolegi sebagai wilayah penyumbang perkawinan di bawah umur tertinggi di Kecamatan Sumbersari, kabupaten Jember.
Kegiatan pertama adalah membentuk kelompok kader remaja, yang dilakukan di Pendopo Karangrejo dan dihadiri oleh 15 perwakilan remaja, perangkat desa, dan tokoh masyarakat.
Pada pertemuan ini, setiap pihak diajak memetakan permasalahan kesehatan yang dihadapi remaja dan lingkungan kelurahan, di antaranya kemiskinan, putus sekolah, pengangguran, perkawinan anak, penyalahgunaan miras dan narkoba, perceraian dini, dan masih banyak lagi. Dan, para kader remaja berkumpul di kelurahan Wirolegi untuk diberikan materi tentang kesehatan reproduksi.
Kegiatan selanjutnya pemaparan hasil Community Score Card (CSC) berisi penilaian remaja terhadap fasilitas serta layanan kesehatan kepada para perwakilan RT, RW, tokoh masyarakat dan remaja. Hasil CSC lantas dianalisis bersama stakeholder seperti perwakilan Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Kepala KUA, perwakilan Guru BK, Kepala Puskesmas, dan nakes lainnya. Dari analisis ini, dirumuskan berbagai rekomendasi atau usulan dari setiap penyedia layanan, kemudian dilanjut lokakarya tentang kesepakatan rekomendasi kebijakan.
Hasil dari lokakarya tersebut adalah policy brief berjudul Remaja dan Kespro. Setelah melalui proses penyempurnaan, policy brief kemudian akan disampaikan ke pemerintah daerah. Harapannya, akan diterbitkan Surat Keputusan penyelenggaraan kampung remaja sehat dengan dukungan dana pemerintah melalui APBD dan APBDes.
Kegiatan kampung remaja sehat sudah menuai tanggapan baik dari masyarakat. Remaja saat ini sudah aktif menulis persoalan sosial tentang perkawinan anak selanjutnya diposting di media sosial instagram kampung remaja sehat, saat ini remaja banyak yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tidak hanya lulus SMA saja. “Saya berharap kegiatan ini bisa memajukan remaja di desa kami”. ucap bu Rohimatus, Ketua RT di Pelindu, Karangrejo. “Dengan adanya kampung remaja sehat, remaja bisa selalu aktif dalam kegiatan masyarakat dan berkontribusi secara positif.
Penulis: Istifaroh
0 Komentar